Minggu, 01 Juni 2014

Bocoran Sedikit Kisah di Naskah Buku Ke-4



Asmara

26 Oktober
Hari ini gue ke kampus. Rencananya sih mau diskusi dengan dosen penanggung jawab kasus. Sayang, dosennya nggak datang. Daripada bengong, gue ke perpustakaan aja. Bukan mau baca-baca, sih. Buku-buku di perpustakaan terlalu berat buat otak gue. Niat gue mau ke perpustakaan cuma buat cuci mata aja. Kali aja ketemu cewek cantik, pintar, berkacamata, rambut digelung, menggunakan atasan blazer dan bawahan rok ketat, dan bibirnya merekah merah, duduk membaca buku sambil menggigit-gigit pena. Kemudian penanya jatuh. Gue dengan sigap mengambil pena yang terjatuh tadi. Tiba-tiba cewek itu berteriak, “Tolooong. Jambret penaa! Jambret pena!”. Gue pun digebukin sama penjaga perpustakaan. Setelah gue jelasin, akhirnya cewek tadi minta maaf. Penjaga perpustakaan tadi juga minta maaf.
“Saya minta maaf, Mas. Abisnya muka Mas mirip rampok beneran.”
Sungguh. Ucapan permintaan maaf yang sangat tulus.
Ternyata, setelah semuanya jelas, cewek tadi memutuskan untuk operasi ganti kelamin. Alasannya simple. Takut gue deketin. Ini kenapa fantasi gue jadinya meluber di awal cerita, ya?
Oke. Lanjut, deh.
Gue mengambil kursi dan duduk di sebelah cewek. Wajahnya lumayan manis. Terlihat di wajahnya, banyak butiran gula berceceran dengan beberapa semut keluar dari lubang hidungnya.  Sepertinya, sih, cewek itu adek tingkat gue. Wajahnya tampak sedih. Ketika gue duduk, dia menoleh sejenak sambil senyum terpaksa, kemudian kembali memasang wajah sedih. Gue membalas senyumannya dengan terpaksa juga. Buat apa balas senyumnya dengan tulus, lah dia aja senyumnya terpaksa gitu. Busuk amat, kan, hati gue? Sepertinya dia nggak kenal sama gue. Wajar aja, sih. Gue angkatan berapa, dia angkatan berapa. Jarak angkatannya beberapa ribu tahun cahaya. Lagian, pasti dia mengira gue tukang bersih-bersih perpustakaan yang mau ngusilin cewek-cewek. Yah, akibat perpaduan muka tua dan tampang mesum, sih. Nggak heran reaksinya begitu.
Gue mencuri-curi pandang sebentar-sebentar. Bukan karena ganjen. Tapi gue mulai melihat, cewek tadi mulai menitikkan air matanya. Pengen sih, sok-sok gentle dengan cara tiba-tiba mengusap air matanya memakai sapu tangan gue. Tapi niat tersebut berhasil gue urungkan. Daripada kena gampar? Siapa gue berani-beraninya ngelapin air matanya pakai sapu tangan? Lagian sapu tangan gue juga penuh bekas ingus. Kan, kasian. Udah berlinang air mata, belepotan ingus. Ingus orang lagi.
“Ng..Maaf, Dek. Adek kenapa? Jangan nangis, dong,” gue memberanikan diri menyapa. Lagi-lagi bukan karena ganjen. Gue paling nggak bisa ngeliat cewek nangis.
“Eh.. Nggak kenapa-kenapa, Pak,” katanya sedikit terkejut sambil menyeka air matanya menggunakan lengan kemejanya.
Pak? Pak? Pak? PAK?!! Kata sapaan itu terngiang-ngiang di telinga gue. Mulut cewek ini punya efek echo kayaknya. SETUA APA MUKA GUE SAMPAI HARUS DIPANGGIL PAK? Gue menahan kesal. Ingin rasanya gue menjawab,
“Pak? Oh. Oke, Nak. Nangis aja lagi. Peduli apa gue?”
Tapi gue nggak tega.
“Maaf, Dek. Saya bukan bapak. Saya kebetulan kakak tingkatnya adek yang sedang kesurupan sampai-sampai bisa nyasar di perpustakaan,” gue mencoba mengklarifikasi. Cewek tadi tambah terkejut. Berfikir sejenak. Kemudian tampaknya berhasil mengambil kesimpulan.
“Oh. Iya, ya. Mungkin aja dia memang kakak tingkat gue. Sepertinya bapak ini mahasiswa S3 tingkat akhir.”
Terserah lo, Dek.. Terserah.
“Adek kenapa? Kok nangis?”
Setelah kenalan, cewek yang bernama Amel itu pun bercerita panjang lebar. Orang yang lagi galau memang mudah bercerita kepada siapa pun, termasuk ke orang yang baru dikenalnya. Yang penting beban pikirannya sedikit berkurang. Ternyata Amel barusan diputusin cowoknya, padahal mereka udah pacaran selama 4 tahun. Alasannya : Si cowok mau ngajak nikah. Si cewek belum mau nikah. Skripsi aja belum kelar. Lagian masih ada masa koas menanti. Si cowoknya nggak mau nunggu lebih lama. Diputusin, deh. Gue cuma manggut-manggut dengerin dia cerita.
Gue mencoba bijak dan sok menasehati. Padahal gue nggak ngerti apa-apa soal cinta. Sebodo amat. Nasehat gue pun nggak panjang-panjang kok.
“Dek, sabar, ya.”
Udah. Itu doang. Gue juga bingung mau nasehatin apa. Setelah bilang, “Dek, sabar, ya,” gue pun lanjut ngomong,
“Dek, saya pamit dulu, ya.”
Gue langsung cabut. Wajah adek tadi tampak kecewa. Berharap curhatannya direspon, eh, malah ditinggalin sama bapak-bapak kampret yang buta soal urusan cinta. Yah, itulah resikonya kuliah di kedokteran/kedokteran/kedokteran hewan. Selancar apa pun kuliahnya, masih dianggap terlalu lama bagi orang awam. Bagi pasangan yang mengerti dan mau menunggu mah enak. Tapi bagi pasangan yang nggak mau mengerti? Gitu, deh.
 
Gue punya solusi sedikit, nih. Kalau kamu punya pasangan yang maksa dan buru-buru mau nikah, gue kasih contoh langsung,
“Bang, adek udah bosan pacaran.”
“Loh? Jadi adek maunya bagaimana. Putus?”
“Bukan, Bang. Adek bosan pacaran. Maunya jadi yang halal buat Abang. Segera, Bang! HALALKAN AKU BUAT KAMU!!”
“Baiklah. Ikut Abang sekarang.”
“Kemana, Bang? KUA, ya?”
“Bukan, Dek. Ke MUI. Mau nge-HALAL-IN Adek.”