Minggu, 27 Oktober 2013

Mudik Lebaran (calon naskah buku ketiga)




“3 kali puasa..3 kali lebaran..Abang nggak pulang-pulang”
Lagu “Bang Toyib” mengalun penuh cengkok di taksi yang akan nganterin gue ke bandara. Gue mau mudik ke kampung halaman hari ini karena beberapa hari lagi lebaran idul fitri tiba.  Terus terang, lagu yang sekarang sedang diputar oleh supir taksi jauh dari kata menghibur bagi gue.  Di telinga gue terdengar seperti, “3 kali puasa. 3x lebaran. Abang nggak lulus-lulus”. Ini lebaran ketiga gue mudik lebaran dengan menyandang gelar “masih koas” atau lebaran ketujuh gue mudik dengan menyandang gelar “mahasiswa”, jika dihitung dari awal kuliah. Gue sedikit iri sama Bang Toyib karena dia nggak pulang-pulang. Sementara gue? Lulus nggak lulus harus pulang. Dengan seribu beban, tentunya.
“Mas, kok nangis? Lagunya sedih ya?”
Pertanyaan Pak supir memecah lamunan gue. Tanpa sadar gue nangis. Memalukan. Kalo nangis gara-gara nonton drama korea, okelah. Kalo nangis gara-gara mendengar lagu “Bang Toyib”? Memalukan kemaluan.
“Nggak kok, Pak. Ini iler. Saya terkena penyakit kelenjar ludah. Jadi kalo ngiler, keluarnya lewat mata. Saya nggak bohong kok, Pak. Saya belajar banyak tentang ilmu kedokteran”
Pak supir mengangguk-angguk seolah mengerti.
“Kok belajarnya banyak? Udah berapa tahun belajarnya, Mas?”
Jujur. Pertanyaan ini sedikit mengejutkan. Daripada menjawab dalam keadaan tersinggung, gue mengambil keputusan lain.
“Pak, turunin saya sekarang! Anggap aja saya udah nyampe bandara! Lagian udah dekat kok!”
“Tapi, Mas..... Masih jauh bandaranya”
“Jauhan mana sama perjalanan kuliah saya, Pak?”

Gue dijemput sama adek pertama gue, Gilang. Gue anak tertua dari 4 bersaudara. Anak paling tua. Mahasiswa tua. Muka tua. Sepertinya kehidupan gue nggak jauh-jauh dari kata tua. Apakah nanti burung gue juga kakak tua?
“Bang. Kok betis Abang gede sebelah?”
“Gilang. Pertanyaan kamu sungguh nggak bijak. Diam dan menyetirlah”
Gilang kembali fokus menyetir. Gue selalu mudah sensi sama Gilang. Alasannya simple; mukanya jauh lebih ganteng dari gue, badannya jauh lebih atletis dari gue, cool-nya berlipat-lipat di atas gue, kulitnya jauh lebih putih, kuliahnya dapat beasiswa di luar negeri dan sekarang dia lagi nyusun skripsi, abis itu kerja. Dengan deskripsi seperti itu, nggak ada satu pun orang yang percaya kalo Gilang adalah adek kandung gue, kecuali bokap nyokap gue sendiri. Bahkan, adek kedua gue, Rama, nggak percaya kalo gue adalah abangnya Gilang.
“Bang, gue nggak percaya kalo abang ini kakak kandung gue. Kakak gue harusnya kayak Gilang”
Pertanyaan Rama berakhir dengan cubitan gue di tete’nya. Almarhum nenek gue dulu juga sering bertanya ke nyokap gue, “Itu cucu siapa?”, sambil menunjuk ke arah gue. Untungnya, nenek gue memang ternyata pikun. Sebagai anak pertama, gue sungguh teraniaya. Banyak yang bilang, gue adalah hasil uji coba perkawinan silang. Gue percaya kata mereka, soalnya muka gue beneran disilang di mata cewek. Tapi gue sayang Gilang. Apalagi Gilang ganteng.
Sesampainya di rumah, gue disambut pelukan hangat bokap dan nyokap. Bokap dan nyokap adalah 2 makhluk yang paling mengerti gue sekarang. Akhir-akhir ini mereka nggak pernah menanyakan kapan gue lulus. Entah mereka menganggap pertanyaan itu terlalu retoris atau menganggap pertanyaan itu terlalu susah untuk gue jawab tanpa bantuan phone a friend dan fifty fifty. Dulu, setiap gue mau mudik, nyokap rutin nitip oleh-oleh.
“Nak, lusa kamu pulang, kan? Mama boleh nitip oleh-oleh?”
“Iya, Ma. Boleh, Ma. Apa sih yang nggak buat mama. Oleh-olehnya mau apa, Ma?”
“Ijazah, Nak”
“Halo? Halo? Halo? Maaf, salah sambung. Ini pasti bukan mama saya. Mama saya biasanya minta pulsa, bukan minta ijazah” *tut..tut..tut
Nyokap gue nggak tau, kalo di kampus gue, ijazah termasuk barang langka dan dilindungi undang-undang. Tapi sekarang, nyokap nggak pernah lagi nitip oleh-oleh ijazah. Tiap gue pulang, nyokap jadi nitip oleh-oleh pil penenang 3 dus. Bokap lain lagi. Dulu, tiap gue pulang, bokap selalu nitip oleh-oleh obat bius dosis tinggi trus minta tolong dibius. Dengan harapan, efek biusnya lama dan setelah bokap sadar, bangun-bangun udah ngeliat gue pakai toga.

“Nak, adek kamu, Rama, udah diterima di pendidikan brimob. Besok dia mudik, ikut Bapak jemput dia ya. Rama mengikuti pendidikan selama 6 bulan, abis itu dia kerja” Gue anak pertama, dan mungkin gue jadi anak terakhir yang kerja. Tanpa penterjemah sekali pun, gue bisa menangkap maksud omongan bokap barusan. Gue cuma berharap, besok Rama nggak mudik bawa shotgun. Takutnya gue khilaf bunuh diri dengan cara menyilet-nyilet nadi pake moncong shotgun. Tapi jujur, gue sedikit terkejut mendengar Rama bisa lulus masuk pendidikan brimob. Badan Rama kurus banget soalnya. Dengan badan seperti itu, Rama lebih terlihat kayak belalang ranting yang bermetamorfosis jadi manusia. Kalo badannya diikat pake benang, Rama bisa jadi layangan. Nyokap gue juga sering memakai Rama untuk memetik buah mangga di depan rumah kalo lagi kesusahan nyari galah. Kalo dia jadi brimob, musuh mana yang takut ngeliat belalang ranting megang senapan? Boro-boro mau takut, musuh malah gatel buat ngasih makan Rama pakai rumput dan dedaunan.

Kalo lebaran tiba, keluarga gue lengkap berkumpul. Gilang yang kuliah di luar negeri pulang, Rama yang lagi pelatihan brimob juga ikut pulang. Dan di hari lebaran, seluruh keluarga besar kakek dan nenek juga berkumpul semuanya. SEMUANYA. Walaupun sekarang kakek dan nenek gue udah meninggal, rumahnya tetap dijadikan tempat berkumpul keluarga di hari lebaran pertama. Kakek dan nenek mempunyai 13 orang anak. 1 orang anak mereka rata-rata memiliki 5 orang anak lagi. Cucu dari kakek dan nenek rata-rata memiliki 2 orang anak. Kalo berkumpul semua, 130 orang akan berkumpul pas lebaran. Jumlah orang yang cukup untuk melakukan pemberontakan dan kudeta terhadap lurah kampung gue.
Hari lebaran pun tiba. Hampir semua sepupu gue udah berkumpul. Sebenarnya gue nggak mau ikut kumpul keluarga kali ini. Surat keterangan sakit pun udah gue persiapkan jauh-jauh hari untuk diberikan kepada anak tertua kakek dan nenek supaya diizinkan nggak ikut kumpul keluarga pas lebaran. Sayangnya gue salah kasih surat. Surat yang gue kasih ternyata adalah surat keterangan berkelakuan baik dari kepolisian, lengkap dengan kartu kuning dan curricullum vitae. Bawaan kebelet pengen kerja. Sebagai anak yang baik, gue malah lebih diwajibkan untuk ikut acara kumpul keluarga. Oke. Gue memutuskan untuk ikut acara kumpul keluarga dengan tekad kayak gini; apabila ada sepupu yang menanyakan “Kapan lulus?” selama acara berlangsung, gue bakal bilang kayak gini, “Maaf. Kamu bukan sepupu gue lagi”. Di luar dugaan, gue kehilangan sepupu sebanyak 124 orang dalam waktu 2 jam. Gue mengucapkan “Maaf. Kamu bukan sepupu gue lagi” hampir ke semua sepupu gue. 6 orang yang nggak bertanya kapan gue lulus hanya nyokap, bokap, Gilang, Rama, Zera, adek paling bungsu dan gue sendiri. Mirisnya, cicit-cicit dari kakek nenek gue yang baru berusia bulanan, tiba-tiba jadi bisa ngomong dan nanyain kapan gue lulus juga. Ini keajaiban. Keajaiban yang sangat aneh dan nggak bermanfaat. Semesta berkonspirasi mem-bully gue.
Ada yang berbeda dari kumpul keluarga tahun ini. Tahun ini gue nggak bisa ngasih THR ke sepupu-sepupu kecil gue. Ah, gue lupa. Tahun-tahun sebelumnya gue juga nggak pernah ngasih THR. Gue yakin, sepupu-sepupu kecil gue berpikir kalo jadi dokter gigi adalah sebuah profesi miskin yang memungkinkan seseorang nggak bagi-bagi THR selama bertahun-tahun.
Bedanya, tahun kemarin masih ada sepupu yang ngomong kayak gini,
“Tom, rawat gigi tante dong. Kalo kamu pulang ke sini, bawa dong kursi giginya. Biar bisa ngerawat keluarga besar kita selama kamu mudik”
Sepupu gue ini nggak tau kalo kursi gigi itu bukanlah barang yang bisa diselipin di dompet trus dibawa kemana-mana. Tahun ini, nggak ada lagi sepupu-sepupu yang ngomong gitu ke gue. Mereka lebih fokus mengelu-elukan adek gue, Rama.
“Aduh Rama, nanti kalo tante kejambretan, kamu tolongin tante ya. Kamu tembak penjambretnya pake rudal kayak di film-film itu ya”. Sepupu gue ini, selain nggak tau kalo kursi gigi nggak bisa diselipin di dompet ternyata juga nggak tau kalo Rama adalah calon brimob, bukan Rambo atau tokoh game GTA.
“Iya, tante. Tante tenang aja. Kalo nanti ada jambret yang berani ganggu tante, bakal Rama bombardir jambretnya beserta sekutu-sekutunya. Kalo Rama berhasil menjadi salah satu anggota The Expendables, sebisa mungkin Rama tolong tante”
Kenapa adek gue jadi ikutan nggak waras?
Di situlah letak bedanya. Sejak Rama jadi calon brimob, kebanyakan sepupu gue jadi terlalu mengelu-elukan Rama. Wajar aja sih, soalnya di keluarga besar gue, Rama adalah calon aparat pertama dan 6 bulan lagi jadi aparat beneran. Gue juga sih, calon dokter gigi pertama di keluarga besar. Bedanya, bertahun-tahun terlewati dan gue belum jadi dokter gigi beneran. Sepertinya mereka udah mulai nyuekin gue. Selepas menanyakan “kapan kamu lulus?” ke gue, sisanya mereka menganggap gue sebagai makhluk hampa udara. Ah, seandainya pemerintah membuka program paket C untuk mengambil gelar dokter gigi, gue pasti daftar.

Nggak sampai di situ, karena terus dielu-elukan, Rama terus beraksi. Dia nyolokin micro SD HP-nya ke DVD trus menyetel lagu perjuangan.
Tinggalkan ayah tinggalkan ibu
Relakan kami pergi berjuang
Di bawah naungan merah putih
Maju ayo maju menyerbu

Tidak kembali pulang
Sebelum kita yang menang
Walau mayat terkapar di medan perang
Demi bangsa aku kan berjuang
Dst
Semua sepupu gue tampak antusias mendengarkan lagu yang diputarkan Rama. Lagu yang lantang dan penuh dengan semangat perjuangan. Bokap dan nyokap tampak tersenyum bangga. Rama ikut bernyanyi mengikuti lagu yang diputarnya sambil jalan di tempat, balik kanan, lencang kanan, dan sesekali tiarap. Untung aja Rama nggak ngelempar granat saking semangatnya. Gilang juga ikut bernyanyi. Supaya pesonanya nggak kalah oleh Rama, Gilang menyanyikan lagu “Cindai” dan “Gerimis Mengundang”. Iya, kan doi kuliah di Malaysia. Tampaknya gue cuma bisa mengalahkan mereka dengan cara menyanyikan lagu kebangsaan Zimbabwe sambil menabuh beduk.

15 menit kemudian, lagu-lagu yang diputarkan Rama habis. Ini kesempatan gue untuk menarik perhatian sepupu-sepupu gue dan mengalahkan pesona Rama.
“Em..Tante, paman, bibi, om, adek-adek.. Saya juga punya lagu mars kayak lagu yang Rama putar tadi lho. Mars Calon Dokter Gigi. Saya nyanyiin ya”, kata gue agak lantang. Semua orang yang ada di situ langsung serempak menoleh ke arah gue.
“Inilah saat yang tepat”, batin gue.
Aku seorang calon dokter gigi
Takkan pulang sebelum menang
Ayo serbu..serbu
Tang di tangan kanan racun di tangan kiri
Aku tak tahu mana yang akan kau berikan padaku
Di radio..
Aku dengar lagu kesayanganmu
Ku telepon ke rumahmu
Ada apa sayangku
Entah karena terlalu terbebani gara-gara pengen menyaingi pesona Rama atau entah karena terlalu grogi, lagu mars yang baru gue bikin untuk dinyanyikan di depan sepupu-sepupu gue berubah jadi lirik lagu almarhum Gombloh. Semua orang yang ada di situ melongo. Sempurna. Tampaknya semua sepupu gue membatin dalam hati, “Wajar kalo dia belum lulus sampai sekarang”, termasuklah sepupu-sepupu kecil gue yang baru berusia bulanan. Gue tanggap menguasai kondisi,
“Ma..maaf. Sebagai gantinya biarkan saya menyanyikan lagu Hymne Guru. Mengheningkan cipta. Mulai”
Dengaaar..
Seluruuh..
Angkasa raya memuji..
Pahlawan negara..
Dst
Gue sukses. Semua sepupu yang ada di situ semuanya memang menjadi hening. Termasuk nyokap dan bokap gue.

Sekarang gue udah kembali lagi ke tanah perantauan. Sebelum gue pulang, gue menerima banyak wejangan. Yang paling membekas adalah wejangan dari paman gue, “Kamu nggak perlu berjuang untuk terlihat lebih baik dari adek-adek kamu. Bagaimana pun kamu, kamu udah menjadi bagian terbaik dari keluarga besar kita. Nggak perlu menjadi “A” untuk mendahului “B”, nggak perlu jadi “100” hanya untuk menarik perhatian si “200”. Rendah atau tinggi, semuanya satu, semuanya mengisi porsi masing-masing. Kami tetap keluarga kamu. Kami tetap sayang kamu. Kamu hanya perlu menjadi contoh yang baik buat semua. Terutama buat adek-adek kamu. Banggakan mereka. Banggakan orang tua. Banggakan kami. Cepatlah lulus. Mau menjadi orang tua di kampus?”. Sesaat setelah paman memberikan wejangan itu, gue sempat tertunduk malu. Gue salah. Pandangan gue ke sepupu-sepupu gue juga salah. Harusnya semakin sukses adek-adek gue, gue juga ikut bahagia. Ah.. Mahasiswa yang udah lama kuliah emang terlalu sensitif.