Jumat, 28 November 2014

Buku "Dua Gigi Koplak"

Kemaren, gue ke toko buku dan nemu buku yang cover-nya kayak gini.

Awalnya gue berpikir, kok bisa-bisanya ada cover buku kayak gitu. Di cover depan tampak dua orang petugas kesehatan gigi,  satu dokter gigi dan satu lagi koas gigi. Di cover tersebut,  si dokter gigi terlihat gaul walopun mungkin gaulnya masih belum move-on dari kegaulan tahun 70-an. Sedangkan si koas gigi memakai masker di mata dan memakai kacamata di mulut. Mungkin sebagai perlambang dunia yang udah renta kali, ya. Soalnya gue yakin akal si koas itu udah renta dan lapuk dimakan usia. Pas gue lihat cover belakangnya, eh, malah KEBALIK! Gue tambah yakin otak dua orang di cover, yang gue tau sebagai penulis buku ini udah bener-bener kebalik. Otak ada di pantat dan pantat ada di otak.
Gue tambah penasaran,  mengabaikan hipotesis gue tentang cover bukunya dan melanjutkan  untuk membaca isi bukunya (setelah merobek plastik pembungkusnya). Ternyata isi bukunya menceritakan kehidupan dokter gigi dan koas gigi dari sudut pandang komedi. Mereka ingin menyampaikan pesan kalo dunia kedokteran gigi itu nggak seseram yang dibayangkan. Banyak hal-hal konyol dan gila yang terjadi. Gue melanjutkan baca dan gue selalu ketawa terbahak-bahak. Bukan, bukan karena buku itu. Tapi karena pinggang gue dikelitikin Mas-Mas penjaga toko bukunya. Mau ngusir pembaca yang mau baca gratis doang kayak gue. Tapi, dengan sedikit perjuangan, gue berhasil menyelesaikan membaca buku itu. Pinggang gue kesemutan dikelitikin dan jari-jari Mas tadi jadi ngetril. Sebodo amat, yang penting gue udah kelar baca. Gratis!

Di perjalanan pulang, gue masih terheran-heran. Kok ada, ya, yang bikin cover kayak gitu.  Terus kok bisa ya isinya konyol dan koplak kayak gitu. Setelah lama keheranan, gue lanjut berpikir. Setelah lama berpikir, gue baru inget. Baru inget kalo yang nulis buku tadi adalah gue. Gue sebagai koas gigi yang udah koas dari jaman nyonya meneer pake konde sampe jaman nyonya meneer jadi mohawk belum lulus-lulus juga. Buku tadi gue tulis berkolaborasi dengan seorang doker gigi gaul yang menceritakan kekonyolan pengalamannya selama berkecimpung di dunia kedokteran gigi. Cerita gue? Biasa. Curhatan anak kampus telat lulus dan perjalanan selama kuliah di kampus. Ayo, buruan sikat bukunya di toko buku terdekat! Gue jamin kalo udah beli nggak bakal nyesel deh. Kalo udah baca, mudah-mudahan nggak nyesel juga. Seenggak-enggaknya kalian tahu, ada orang kayak gue di muka bumi ini :’). 

Sabtu, 12 Juli 2014

Pertanyaan-Pertanyaan yang Jadi Momok Waktu Lebaran



Lebaran adalah hari kemenangan bagi umat islam yang menjalankan ibadah puasa. Lebaran akan tetap menjadi hari kemenangan walaupun kamu belum memenangkan hati gebetan.  Lebaran akan tetap menjadi hari kemenangan walaupun kamu belum memenangkan ijazahmu. Semuanya berbahagia dan bersuka cita. Namun, bersiaplah. Biasanya akan ada sedikit “luka” yang akan menggores di hari kemenangan itu. “Luka” yang tergores oleh pertanyaan-pertanyaan yang mampu bikin kamu menelan toples kue lebaran dari lubang hidung.
Beberapa lebaran terakhir ini, gue, seorang mahasiswa tua yang lemah, selalu dijejali berbagai macam pertanyaan yang kelihatannya biasa saja tapi bisa membuat perasaan terhunjam perih. Mulai dari handai taulan, sanak saudara, mantan pacar, mantan gebetan, bahakan sampai orang yang nggak pernah menyapa semuanya tiba-tiba menjadi peduli dan akan menanyakan pertanyaan yang polanya sama. Kalian juga tentunya pernah mengalami, kan? Pertanyaan yang bagaimana, sih?

1.      Kapan kamu lulus?
Bagi mahasiswa telat lulus kayak gue, pertanyaan semacam ini termasuk ke kategori pertanyaan yang melanggar HAM. Siapa sih yang mau lulus lama? Siapa sih yang mau jenggotnya ubanan di kampus? Siapa? Jawaaab! Gue udah bertahun-tahun menghadapi pertanyaan ini tiap lebaran. Gue biasanya menjawab pertanyaan ini dengan :
a.       Senyum meringis
b.      Menangis
c.       Pura-pura nggak denger
d.      Menjawab dengan “Hanya Tuhan yang tahu. Itu rahasia Ilahi”
e.       Phone a friend
Kalo gue lagi males menjawab pertanyaan tipe ini sewaktu silaturahmi, gue biasanya menyamar jadi Pak Wiranto dan berhasil terhindar dari pertanyaan ini.

2.      Mana pacar kamu?
Pertanyaan jenis ini tidak menghargai kehidupan seorang jomblo. Biasanya orang yang melontarkan pertanyaan jenis ini selalu menyertai pertanyaannya dengan tatapan menyindir, penuh iba, atau mencibir, seolah-olah yang ditanya adalah sesosok makhluk yang diobral dengan potongan 75% pun nggak bakal laku. Padahal, kan jomblo itu ada 3 jenis, jomblo karena emang belum laku, jomblo yang memilih jadi jomblo karena nyaman dengan kejombloannya, dan biarawan/biarawati.  Tips gue kalo ada yang menanyakan pertanyaan ini, jawablah segera dengan, “Maaf, gue nggak bisa jawab. Bibir gue keseleo dan lidah gue kesemutan.”

3.      Kapan kamu nikah?
Helloww? Itu urusan lo? Plis, deh. Kenapa sih orang-orang seneng banget nanyain pertanyaan satu ini. Kalo yang ditanya mau nikah, kan si penanya juga bisa tau karena nanti bakal ada undangan. Jadi selama belum ada undangan, ya mingkem aja. Jodoh itu urusan Tuhan, bukan urusan lo. Yang paling sedih dan tertusuk dengan pertanyaan jenis ini adalah orang yang bahkan gebetan aja belum punya. Mau nikah sama siapa coba? Tips menghadapi pertanyaan jenis ini :
“Kapan lo mau nikah?”
“Sebentar lagi, lah.”
“Wah, selamat, ya. Sama siapa nikahnya?”
“Menikah dengan angin.”

4.      Kapan mau punya anak?
Bagi orang yang udah nikah dan belum punya anak, ini pertanyaan yang sensitif. Mana tau orang yang ditanyain emang belum mau punya anak atau emang mau punya anak tapi belum dikaruniai anak? Ada urusan-urusan tertentu yang kelihatannya biasa saja dan remeh tapi sebenarnya itu bukan urusan lo. Batasi plis. Kali aja bisa bikin orang lain tersinggung. Gue pernah sekali menanyakan pertanyaan jenis ini. Gue malah ditampar. Hal itu bikin gue jera. Gue menanyakan, “Kapan lo mau punya anak, sih?” ke teman SD gue dulu. Kebetulan teman gue itu seorang waria.

5.      Mana THR nya?
Orang yang ditanyai seperti ini, biasanya mengumpat dalam hati, “Gue belum lulus kuliah! Gue belum kerja! Gue jomblo! Gue belum punya gebetan! Makan di  cafe aja gue pake kartu jamsoskes! Orang macam apa yang tega memalak dari orang yang hidupnya miris kayak gue?!!”. Dilema juga, sih. Apalagi bagi mahasiswa jomblo single belum lulus dan belum kerja yang udah punya keponakan. Ya, namanya anak kecil biasanya dengan polosnya ngomong, “Om, tante, minta THR dong.” Atau terkadang orangtuanya berlagak polos dengan ngomong, “Nah. Minta THR sama om itu atau tante itu, gih. Umurnya udah lumayan tua, masa’ nggak ngasih THR?”
Dilemanya di sini. Nggak ngasih dikira pelit. Ngasih seribu-dua ribu rupiah dibilang bokek. Ngasih 50 ribu rupiah, terlihat kaya tapi bokek sesudahnya. Pertanyaan seperti ini jarang sih sebenarnya. Tapi kan, selalu aja ada orang yang kurang peka, apalagi soal duit.
Gue kalo dimintain THR sama sepupu atau ponakan, biasanya gue kasih KTP gue sebagai jaminan. Setelahnya, gue minta tolong bokap gue buat nebus.


So, siap lebaran, siap silaturahmi, siap juga menghadapi pertanyaan-pertanyaan di atas. Brace yourself!

Minggu, 01 Juni 2014

Bocoran Sedikit Kisah di Naskah Buku Ke-4



Asmara

26 Oktober
Hari ini gue ke kampus. Rencananya sih mau diskusi dengan dosen penanggung jawab kasus. Sayang, dosennya nggak datang. Daripada bengong, gue ke perpustakaan aja. Bukan mau baca-baca, sih. Buku-buku di perpustakaan terlalu berat buat otak gue. Niat gue mau ke perpustakaan cuma buat cuci mata aja. Kali aja ketemu cewek cantik, pintar, berkacamata, rambut digelung, menggunakan atasan blazer dan bawahan rok ketat, dan bibirnya merekah merah, duduk membaca buku sambil menggigit-gigit pena. Kemudian penanya jatuh. Gue dengan sigap mengambil pena yang terjatuh tadi. Tiba-tiba cewek itu berteriak, “Tolooong. Jambret penaa! Jambret pena!”. Gue pun digebukin sama penjaga perpustakaan. Setelah gue jelasin, akhirnya cewek tadi minta maaf. Penjaga perpustakaan tadi juga minta maaf.
“Saya minta maaf, Mas. Abisnya muka Mas mirip rampok beneran.”
Sungguh. Ucapan permintaan maaf yang sangat tulus.
Ternyata, setelah semuanya jelas, cewek tadi memutuskan untuk operasi ganti kelamin. Alasannya simple. Takut gue deketin. Ini kenapa fantasi gue jadinya meluber di awal cerita, ya?
Oke. Lanjut, deh.
Gue mengambil kursi dan duduk di sebelah cewek. Wajahnya lumayan manis. Terlihat di wajahnya, banyak butiran gula berceceran dengan beberapa semut keluar dari lubang hidungnya.  Sepertinya, sih, cewek itu adek tingkat gue. Wajahnya tampak sedih. Ketika gue duduk, dia menoleh sejenak sambil senyum terpaksa, kemudian kembali memasang wajah sedih. Gue membalas senyumannya dengan terpaksa juga. Buat apa balas senyumnya dengan tulus, lah dia aja senyumnya terpaksa gitu. Busuk amat, kan, hati gue? Sepertinya dia nggak kenal sama gue. Wajar aja, sih. Gue angkatan berapa, dia angkatan berapa. Jarak angkatannya beberapa ribu tahun cahaya. Lagian, pasti dia mengira gue tukang bersih-bersih perpustakaan yang mau ngusilin cewek-cewek. Yah, akibat perpaduan muka tua dan tampang mesum, sih. Nggak heran reaksinya begitu.
Gue mencuri-curi pandang sebentar-sebentar. Bukan karena ganjen. Tapi gue mulai melihat, cewek tadi mulai menitikkan air matanya. Pengen sih, sok-sok gentle dengan cara tiba-tiba mengusap air matanya memakai sapu tangan gue. Tapi niat tersebut berhasil gue urungkan. Daripada kena gampar? Siapa gue berani-beraninya ngelapin air matanya pakai sapu tangan? Lagian sapu tangan gue juga penuh bekas ingus. Kan, kasian. Udah berlinang air mata, belepotan ingus. Ingus orang lagi.
“Ng..Maaf, Dek. Adek kenapa? Jangan nangis, dong,” gue memberanikan diri menyapa. Lagi-lagi bukan karena ganjen. Gue paling nggak bisa ngeliat cewek nangis.
“Eh.. Nggak kenapa-kenapa, Pak,” katanya sedikit terkejut sambil menyeka air matanya menggunakan lengan kemejanya.
Pak? Pak? Pak? PAK?!! Kata sapaan itu terngiang-ngiang di telinga gue. Mulut cewek ini punya efek echo kayaknya. SETUA APA MUKA GUE SAMPAI HARUS DIPANGGIL PAK? Gue menahan kesal. Ingin rasanya gue menjawab,
“Pak? Oh. Oke, Nak. Nangis aja lagi. Peduli apa gue?”
Tapi gue nggak tega.
“Maaf, Dek. Saya bukan bapak. Saya kebetulan kakak tingkatnya adek yang sedang kesurupan sampai-sampai bisa nyasar di perpustakaan,” gue mencoba mengklarifikasi. Cewek tadi tambah terkejut. Berfikir sejenak. Kemudian tampaknya berhasil mengambil kesimpulan.
“Oh. Iya, ya. Mungkin aja dia memang kakak tingkat gue. Sepertinya bapak ini mahasiswa S3 tingkat akhir.”
Terserah lo, Dek.. Terserah.
“Adek kenapa? Kok nangis?”
Setelah kenalan, cewek yang bernama Amel itu pun bercerita panjang lebar. Orang yang lagi galau memang mudah bercerita kepada siapa pun, termasuk ke orang yang baru dikenalnya. Yang penting beban pikirannya sedikit berkurang. Ternyata Amel barusan diputusin cowoknya, padahal mereka udah pacaran selama 4 tahun. Alasannya : Si cowok mau ngajak nikah. Si cewek belum mau nikah. Skripsi aja belum kelar. Lagian masih ada masa koas menanti. Si cowoknya nggak mau nunggu lebih lama. Diputusin, deh. Gue cuma manggut-manggut dengerin dia cerita.
Gue mencoba bijak dan sok menasehati. Padahal gue nggak ngerti apa-apa soal cinta. Sebodo amat. Nasehat gue pun nggak panjang-panjang kok.
“Dek, sabar, ya.”
Udah. Itu doang. Gue juga bingung mau nasehatin apa. Setelah bilang, “Dek, sabar, ya,” gue pun lanjut ngomong,
“Dek, saya pamit dulu, ya.”
Gue langsung cabut. Wajah adek tadi tampak kecewa. Berharap curhatannya direspon, eh, malah ditinggalin sama bapak-bapak kampret yang buta soal urusan cinta. Yah, itulah resikonya kuliah di kedokteran/kedokteran/kedokteran hewan. Selancar apa pun kuliahnya, masih dianggap terlalu lama bagi orang awam. Bagi pasangan yang mengerti dan mau menunggu mah enak. Tapi bagi pasangan yang nggak mau mengerti? Gitu, deh.
 
Gue punya solusi sedikit, nih. Kalau kamu punya pasangan yang maksa dan buru-buru mau nikah, gue kasih contoh langsung,
“Bang, adek udah bosan pacaran.”
“Loh? Jadi adek maunya bagaimana. Putus?”
“Bukan, Bang. Adek bosan pacaran. Maunya jadi yang halal buat Abang. Segera, Bang! HALALKAN AKU BUAT KAMU!!”
“Baiklah. Ikut Abang sekarang.”
“Kemana, Bang? KUA, ya?”
“Bukan, Dek. Ke MUI. Mau nge-HALAL-IN Adek.”