Asmara
26 Oktober
Hari
ini gue ke kampus. Rencananya sih mau diskusi dengan dosen penanggung jawab
kasus. Sayang, dosennya nggak datang. Daripada bengong, gue ke perpustakaan
aja. Bukan mau baca-baca, sih. Buku-buku di perpustakaan terlalu berat buat
otak gue. Niat gue mau ke perpustakaan cuma buat cuci mata aja. Kali aja ketemu
cewek cantik, pintar, berkacamata, rambut digelung, menggunakan atasan blazer dan bawahan rok ketat, dan
bibirnya merekah merah, duduk membaca buku sambil menggigit-gigit pena. Kemudian
penanya jatuh. Gue dengan sigap mengambil pena yang terjatuh tadi. Tiba-tiba
cewek itu berteriak, “Tolooong. Jambret penaa! Jambret pena!”. Gue pun
digebukin sama penjaga perpustakaan. Setelah gue jelasin, akhirnya cewek tadi
minta maaf. Penjaga perpustakaan tadi juga minta maaf.
“Saya
minta maaf, Mas. Abisnya muka Mas mirip rampok beneran.”
Sungguh.
Ucapan permintaan maaf yang sangat tulus.
Ternyata,
setelah semuanya jelas, cewek tadi memutuskan untuk operasi ganti kelamin.
Alasannya simple. Takut gue deketin.
Ini kenapa fantasi gue jadinya meluber di awal cerita, ya?
Oke.
Lanjut, deh.
Gue
mengambil kursi dan duduk di sebelah cewek. Wajahnya lumayan manis. Terlihat di
wajahnya, banyak butiran gula berceceran dengan beberapa semut keluar dari
lubang hidungnya. Sepertinya, sih, cewek
itu adek tingkat gue. Wajahnya tampak sedih. Ketika gue duduk, dia menoleh
sejenak sambil senyum terpaksa, kemudian kembali memasang wajah sedih. Gue
membalas senyumannya dengan terpaksa juga. Buat apa balas senyumnya dengan
tulus, lah dia aja senyumnya terpaksa gitu. Busuk amat, kan, hati gue?
Sepertinya dia nggak kenal sama gue. Wajar aja, sih. Gue angkatan berapa, dia
angkatan berapa. Jarak angkatannya beberapa ribu tahun cahaya. Lagian, pasti
dia mengira gue tukang bersih-bersih perpustakaan yang mau ngusilin
cewek-cewek. Yah, akibat perpaduan muka tua dan tampang mesum, sih. Nggak heran
reaksinya begitu.
Gue
mencuri-curi pandang sebentar-sebentar. Bukan karena ganjen. Tapi gue mulai
melihat, cewek tadi mulai menitikkan air matanya. Pengen sih, sok-sok gentle dengan cara tiba-tiba mengusap
air matanya memakai sapu tangan gue. Tapi niat tersebut berhasil gue urungkan.
Daripada kena gampar? Siapa gue berani-beraninya ngelapin air matanya pakai
sapu tangan? Lagian sapu tangan gue juga penuh bekas ingus. Kan, kasian. Udah
berlinang air mata, belepotan ingus. Ingus orang lagi.
“Ng..Maaf,
Dek. Adek kenapa? Jangan nangis, dong,” gue memberanikan diri menyapa.
Lagi-lagi bukan karena ganjen. Gue paling nggak bisa ngeliat cewek nangis.
“Eh..
Nggak kenapa-kenapa, Pak,” katanya sedikit terkejut sambil menyeka air matanya
menggunakan lengan kemejanya.
Pak?
Pak? Pak? PAK?!! Kata sapaan itu terngiang-ngiang di telinga gue. Mulut cewek
ini punya efek echo kayaknya. SETUA
APA MUKA GUE SAMPAI HARUS DIPANGGIL PAK? Gue menahan kesal. Ingin rasanya gue
menjawab,
“Pak?
Oh. Oke, Nak. Nangis aja lagi. Peduli apa gue?”
Tapi
gue nggak tega.
“Maaf,
Dek. Saya bukan bapak. Saya kebetulan kakak tingkatnya adek yang sedang
kesurupan sampai-sampai bisa nyasar di perpustakaan,” gue mencoba
mengklarifikasi. Cewek tadi tambah terkejut. Berfikir sejenak. Kemudian
tampaknya berhasil mengambil kesimpulan.
“Oh.
Iya, ya. Mungkin aja dia memang kakak tingkat gue. Sepertinya bapak ini
mahasiswa S3 tingkat akhir.”
Terserah
lo, Dek.. Terserah.
“Adek
kenapa? Kok nangis?”
Setelah
kenalan, cewek yang bernama Amel itu pun bercerita panjang lebar. Orang yang
lagi galau memang mudah bercerita kepada siapa pun, termasuk ke orang yang baru
dikenalnya. Yang penting beban pikirannya sedikit berkurang. Ternyata Amel
barusan diputusin cowoknya, padahal mereka udah pacaran selama 4 tahun. Alasannya
: Si cowok mau ngajak nikah. Si cewek belum mau nikah. Skripsi aja belum kelar.
Lagian masih ada masa koas menanti. Si cowoknya nggak mau nunggu lebih lama.
Diputusin, deh. Gue cuma manggut-manggut dengerin dia cerita.
Gue
mencoba bijak dan sok menasehati. Padahal gue nggak ngerti apa-apa soal cinta.
Sebodo amat. Nasehat gue pun nggak panjang-panjang kok.
“Dek,
sabar, ya.”
Udah.
Itu doang. Gue juga bingung mau nasehatin apa. Setelah bilang, “Dek, sabar, ya,”
gue pun lanjut ngomong,
“Dek,
saya pamit dulu, ya.”
Gue
langsung cabut. Wajah adek tadi tampak kecewa. Berharap curhatannya direspon,
eh, malah ditinggalin sama bapak-bapak kampret yang buta soal urusan cinta.
Yah, itulah resikonya kuliah di kedokteran/kedokteran/kedokteran hewan.
Selancar apa pun kuliahnya, masih dianggap terlalu lama bagi orang awam. Bagi
pasangan yang mengerti dan mau menunggu mah enak. Tapi bagi pasangan yang nggak
mau mengerti? Gitu, deh.
Gue
punya solusi sedikit, nih. Kalau kamu punya pasangan yang maksa dan buru-buru
mau nikah, gue kasih contoh langsung,
“Bang,
adek udah bosan pacaran.”
“Loh?
Jadi adek maunya bagaimana. Putus?”
“Bukan,
Bang. Adek bosan pacaran. Maunya jadi yang halal buat Abang. Segera, Bang!
HALALKAN AKU BUAT KAMU!!”
“Baiklah.
Ikut Abang sekarang.”
“Kemana,
Bang? KUA, ya?”
“Bukan,
Dek. Ke MUI. Mau nge-HALAL-IN Adek.”